Gadis-gadis pramuniaga di sebuah toko perhiasan kecil terdiam mematung di tempat masing2, seperti juga pengunjung2 yang lain. Di tengah toko yang sedang ramai di masa libur itu, seorang anak usia lima tahun sedang mengamuk, menendang2 dan berteriak2 sekuat tenaga, padahal ia berada sangat dekat dengan etalase kaca yang memamerkan batu permata yang mahal.
Sang ibu, seperti halnya putranya, tampak tak peduli terhadap orang2 disekitarnya, sambil berlutut dengan satu kaki dekat si anak memulai percakapan.
“ baik Benji, ketimbang menangis ,lebih baik kamu bicara pada ibu apa masalahmu. Ibu tidak akan tahu masalahmu jika kamu menangis terus. Ibu tahu kamu marah, tapi kamu harus memberitahu ibu agar ibu tahu mesti bagaimana.”
“ aku yang akan memberitahu masalahku..!” gumam pemilik toko dengan amarah tertahan, berandai-andai ia punya keberanian atau kekuatan untuk melemparkan ibu dan anak itu keluar toko.
Tetapi ia tetap diam dan menunggu, dengan rasa ingin tahu tentang apa yang dipikirkan oleh sang ibu tentang akibat kejadian ini pada anaknya.
Jarang sekali orangtua mengalami kesulitan dalam mempelajari prinsip-prinsip pemberian kasih sayang yang afirmatif, tetapi disiplin afirmatif adalah perkara yang berbeda. Orangtua harus mempunyai cara-cara yang telah dipikir matang, terencana dan sesuai dengan usia untuk menanggapi perilaku menyimpang anak.
Ibu diatas terpengaruh oleh keyakinan yang keliru bahwa anak-anak harus selalu diberi alasan dan pilihan, bahkan meskipun perangai buruk mereka sudah melewati batas yang dapat diterima umum.
Ada sejumlah teknik pendisiplinan yang paling sering dianjurkan, antara lain :
1. Teguran
Hal pertama yang harus diperbuat oleh orangtua dan mungkin harus cukup sering.
2. Konsekuensi wajar
Membiarkan anak merasakan konsekuensi logis akibat kesalahan mereka untuk membuktikan betapa penting suatu aturan.
Contoh : seorang anak yang bermalas-malasan waktu sang ibi menyuruhnya bergegas supaya tidak ketinggalan jemputan sekolah, mungkin harus dihukum dengan menyuruhnya berjalan kaki atau naik angkutan umum ke sekolah dan melapor kepada guru kelas mengapa ia terlambat.
3. Menyetrap
Barangkali ini teknik pendisiplinan yang paling lazim dianjurkan.
Teknik ini antara lain menyuruh anak diam di suatu tempat yang netral dan tidak menimbulkan rangsangan untuk beberapa waktu selama 5-10 menit .
Cara ini juga efektif bila anak berperangai buruk di tempat umum.
4. Menahan hak untuk menikmati sesuatu.
Apabila anak2 terlalu besar untuk disetrap, orangtua biasanya mengganti hukuman itu dengan mengambil hak anak untuk menikmati sesuatu.
Melarang menonton televisi, bermain video game dan bertelepon termasuk cara yang efektif.
Namun, hindari cara ini bila berakibat hilangnya kesempatan anak untuk mengalami sesuatu yang penting bagi perkembangannya.
Sebagai contoh lebih baik memberlakukan jam malam yang lebih awal bagi seorang remaja selama beberapa bulan daripada melarangnya ikut fieldtrip sekolah karena harus menginap.
5. Koreksi berlebihan.
Teknik ini sering dianjurkan untuk mengubah perilaku secara cepat.
Apabila anak berbuat salah, ia harus mengulang perbuatan yang benar paling tidak sepuluh kali atau sampai dua puluh menit.
Contoh, jika anak melempar sepatu dan tas dengan sembarangan sepulang dari sekolah dan mengabaikan salam, orangtua harus memintanya keluar dan masuk kembali kerumah paling tidak sepuluh kali dan setiap kalinya harus mengucapkan salam serta menaruh tas dan sepatu ditempatnya.
6. Sistem angka.
Untuk masalah yang kronis, sebagian besar psikolog menganjurkan sistem dimana seorang anak dapat memperoleh angka untuk perilaku positif yang terdefinisi dengan jelas dan dapat ditukar dengan imbalan langsung dan atau jangka panjang. Sebaliknya perilaku yang buruk berakibat dikuranginya angka.
Rasanya lebih baik terlalu ketat disiplin yang diterapkan orangtua daripada terlalu lunak, jika ingin membesarkan anak dengan EQ tinggi.
Diambil dari buku How to raise a child with high EQ karya Lawrence Shapiro.