Title : " duh... cerdasnya...!!! anak siapa sich..??"
Date : 1 Maret 2006
Date : 1 Maret 2006
“Wah… Nadjwa tuch cerdas ya.. seperti papa”. Kelakar Papanya anak-anak ketika malam itu Nadjwa dengan lincahnya berbantah, menjawab pertanyaan dan bahkan mampu berlogika untuk jawaban yang diberikannya bagi anak seusia 3 tahun.
Saya tersenyum. Sedikit jengkel. Agak dongkol. “CERDAS SEPERTI PAPANYA” kata-kata itu terngiang di kepala. “ Emang cuma situ aja yang cerdas “, gerutu saya sambil mencubit pinggang suami hingga mengaduh-aduh keenakan eh.. kesakitan.
Punya anak yang kreatif, lincah dan cerdas tentu dambaan setiap orang tua. Saya pernah membaca hasil penelitian (maaf, saya lupa sumbernya) yg mengatakan bahwa perkembangan/kecerdasan anak 60% ditentukan oleh faktor genetika dan 40% ditentukan oleh faktor lingkungan.
Faktor genetika bertanggungjawab pada pembentukan seluruh sel otak dan jaringan utama antar bagian otak, sedangkan faktor lingkungan (pengalaman/stimulasi) bertanggungjawab pada pembentukan dan penyesuaian secara detil dr hubungan2 jaringan tsb. Itu yg saya tahu dari hasil belajar dari berbagai sumber.
Walaupun prosentase terbesar adalah karena faktor genetik tapi kita tetap harus BERUSAHA memperbaiki yg 40% , daripada kita kemudian diam menyerah dg faktor genetika yg 60% itu, yg mana kita tdk bisa merubahnya lagi.
Katakan misalnya 60% + 30% lingkungan yg sempurna, maka hasilnya 90% kan ya.... Tentu saja pada kenyataannya tdk bisa dihitung secara matematika sederhana spt itu :)
Di dunia ilmiah/eksakta (tdk hanya masalah perkembangan anak), yg mana seharusnya hanya ada 1 hal yg benar, pada kenyataannya banyak sekali pertentangan pendapat. Dan saya sendiri selalu melihat hal ini sbg sesuatu yg SANGAT WAJAR krn kita manusia memang baru mampu mengungkap bagian yg sangat SANGAT kecil dari rahasia di alam semesta ini (Maha Besar Allah Sang Pencipta alam ini....).
(Pertentangan ini biasanya terjadi krn perbedaan metode, cara sudut pandang, fokus penelitian dan juga tujuan penelitian, dlsb.)
" There is no doubt that the first three years of life are critical to the growth of intelligence and to later success in adulthood. We know from rigorous psychological and sociological research, and from compelling clinical experience, that early childhood is a time when infants and toddlers acquire many of the motivations and skills needed to become productive, happy adults."
Jadi, akhirnya kita sendiri yg harus menentukan apa yg menurut kita paling AMAN dan TERBAIK dlm mendidik anak kita.
Yg saya khawatirkan, jika kita 100% percaya bahwa perkembangan anak HANYA ditentukan oleh faktor genetika, maka kita orgtua menjadi cenderung pasif dlm mendidik anak. SEBALIKNYA, jika kita percaya 100% bahwa lingkunganlah satu2-nya faktor penentu, maka kita bisa terjebak dg pemaksaan dan penjejalan dlm mendidik anak.
Oleh krn itu, saya sendiri lebih percaya (atau lebih tepatnya MEMILIH) pernyataan yg 60:40 spt di atas itu tadi.
Dg demikian, saya selalu berusaha memberikan berbagai hal TETAPI tetap selalu sadar bahwa tiap anak itu berbeda (ini faktor genetikanya 'kali ya.. :)
Selain itu kita tetap hrs ingat ttg adanya multiple intelligence.
Jadi, misalnya metode Glenn Doman (GD) dg dotcards dan falshcardsnya tdk berhasil diterapkan ke anak, maka kita bisa mencoba memberikan stimulasi lain spt musik, fisik, dll.
Anak cerdas tentu menjadi dambaan kita sebagai orang tua, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di hadapannya. Dan beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati, melainkan dapat diupayakan...
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit. ''Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi kedelapan atau berikutnya'', ungkap McGue. ''Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula.'' Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.
Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang dimaksud tak lain adalah upaya memberi ''iklim'' tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan agar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. Atau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak.
Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan ''miskin'' rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya.
Gizi dan Perilaku Ibu
Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. ''Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan'', jelasnya. ''IQ sangat tergantung pada bobot lahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 - 7 angka di bawah anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil'', tambahnya.
Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin.
Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 - 20% lebih ringan dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40% bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang mendapatkan gizi baik.
Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 - 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku ''buruk''ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah.
Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi-bayi yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 - 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 - 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu tidak merokok saat hamil.
Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar 2.000 - 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel-sel dan sistem syaraf.
Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B-12 dan C, asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah.
Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 - 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk, bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuai tahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan sehari harus mengandung 10 - 15% kalori dari protein, 20 - 35 % dari lemak, dan 40 - 60% dari karbohidrat.
Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia dua tahun.
Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan. Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam.
Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan.
Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar.
Tempat Tinggal dan Cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan kesempatan emas bagi kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak.
Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 - 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka.
Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai.
Saya tersenyum. Sedikit jengkel. Agak dongkol. “CERDAS SEPERTI PAPANYA” kata-kata itu terngiang di kepala. “ Emang cuma situ aja yang cerdas “, gerutu saya sambil mencubit pinggang suami hingga mengaduh-aduh keenakan eh.. kesakitan.
Punya anak yang kreatif, lincah dan cerdas tentu dambaan setiap orang tua. Saya pernah membaca hasil penelitian (maaf, saya lupa sumbernya) yg mengatakan bahwa perkembangan/kecerdasan anak 60% ditentukan oleh faktor genetika dan 40% ditentukan oleh faktor lingkungan.
Faktor genetika bertanggungjawab pada pembentukan seluruh sel otak dan jaringan utama antar bagian otak, sedangkan faktor lingkungan (pengalaman/stimulasi) bertanggungjawab pada pembentukan dan penyesuaian secara detil dr hubungan2 jaringan tsb. Itu yg saya tahu dari hasil belajar dari berbagai sumber.
Walaupun prosentase terbesar adalah karena faktor genetik tapi kita tetap harus BERUSAHA memperbaiki yg 40% , daripada kita kemudian diam menyerah dg faktor genetika yg 60% itu, yg mana kita tdk bisa merubahnya lagi.
Katakan misalnya 60% + 30% lingkungan yg sempurna, maka hasilnya 90% kan ya.... Tentu saja pada kenyataannya tdk bisa dihitung secara matematika sederhana spt itu :)
Di dunia ilmiah/eksakta (tdk hanya masalah perkembangan anak), yg mana seharusnya hanya ada 1 hal yg benar, pada kenyataannya banyak sekali pertentangan pendapat. Dan saya sendiri selalu melihat hal ini sbg sesuatu yg SANGAT WAJAR krn kita manusia memang baru mampu mengungkap bagian yg sangat SANGAT kecil dari rahasia di alam semesta ini (Maha Besar Allah Sang Pencipta alam ini....).
(Pertentangan ini biasanya terjadi krn perbedaan metode, cara sudut pandang, fokus penelitian dan juga tujuan penelitian, dlsb.)
" There is no doubt that the first three years of life are critical to the growth of intelligence and to later success in adulthood. We know from rigorous psychological and sociological research, and from compelling clinical experience, that early childhood is a time when infants and toddlers acquire many of the motivations and skills needed to become productive, happy adults."
Jadi, akhirnya kita sendiri yg harus menentukan apa yg menurut kita paling AMAN dan TERBAIK dlm mendidik anak kita.
Yg saya khawatirkan, jika kita 100% percaya bahwa perkembangan anak HANYA ditentukan oleh faktor genetika, maka kita orgtua menjadi cenderung pasif dlm mendidik anak. SEBALIKNYA, jika kita percaya 100% bahwa lingkunganlah satu2-nya faktor penentu, maka kita bisa terjebak dg pemaksaan dan penjejalan dlm mendidik anak.
Oleh krn itu, saya sendiri lebih percaya (atau lebih tepatnya MEMILIH) pernyataan yg 60:40 spt di atas itu tadi.
Dg demikian, saya selalu berusaha memberikan berbagai hal TETAPI tetap selalu sadar bahwa tiap anak itu berbeda (ini faktor genetikanya 'kali ya.. :)
Selain itu kita tetap hrs ingat ttg adanya multiple intelligence.
Jadi, misalnya metode Glenn Doman (GD) dg dotcards dan falshcardsnya tdk berhasil diterapkan ke anak, maka kita bisa mencoba memberikan stimulasi lain spt musik, fisik, dll.
Anak cerdas tentu menjadi dambaan kita sebagai orang tua, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di hadapannya. Dan beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati, melainkan dapat diupayakan...
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit. ''Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi kedelapan atau berikutnya'', ungkap McGue. ''Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula.'' Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.
Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang dimaksud tak lain adalah upaya memberi ''iklim'' tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan agar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. Atau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak.
Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan ''miskin'' rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya.
Gizi dan Perilaku Ibu
Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. ''Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan'', jelasnya. ''IQ sangat tergantung pada bobot lahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 - 7 angka di bawah anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil'', tambahnya.
Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin.
Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 - 20% lebih ringan dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40% bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang mendapatkan gizi baik.
Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 - 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku ''buruk''ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah.
Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi-bayi yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 - 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 - 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu tidak merokok saat hamil.
Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar 2.000 - 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel-sel dan sistem syaraf.
Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B-12 dan C, asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah.
Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 - 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk, bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuai tahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan sehari harus mengandung 10 - 15% kalori dari protein, 20 - 35 % dari lemak, dan 40 - 60% dari karbohidrat.
Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia dua tahun.
Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan. Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam.
Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan.
Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar.
Tempat Tinggal dan Cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan kesempatan emas bagi kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak.
Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 - 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka.
Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai.