Sejak jauh hari Nadjwa merengek ngajak ke Sekaten.
‘mau ngapain sih deq…?’
akhirnya saya memaksa badan saya untuk menuruti keinginan Nadjwa walapun lemas
masih menggayut. 3 hari tepar karena vertigo kambuh.
‘naik kora-kora sama beli
arum manis…’ jawab Nadjwa dengan logatnya yang unyu.
‘kalau naik kora-kora
boleh, tp arum manis gak boleh karena adeq lagi batuk…’ Saya melarang keras
keinginan Nadjwa makan panganan manis yang terbuat dari gula yang dipanaskan
dan diolah menggunakan mesin sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk
gumpalan-gumpalan seperti kapas. Diluar negeri sono terkenal dengan sebutan
cotton candy.
Nadjwa meringis.
‘Kalau beli mainan
boleh..?’
Nah lo…
Merembet.
Jalan-jalan ke Sekaten
adalah salah satu alternatif hiburan
yang masih agak murah. Pasar malam yang diadakan rutin tiap tahun bersamaan
dengan datangnya peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini mulai tertata rapi
penyelenggaraannya.
Itu kesan awal ketika
akhirnya rombongan touchdown Alun-alun utara Jogjakarta. Hmmm kendaraan bisa
langsung parkir dialun-alun dan tak perlu jalan jauh menuju arena Sekaten. Rapi
dan tidak menimbulkan kemacetan dan agak tidak semrawut.
kora kora |
Sekaten atau yang lebih
dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten berasal dari kata
“syahadatain” yang berarti dua kalimat syahadat. Mengawali upacara sekaten diadakan
pasar malah hiburan rakyat selama sebulan. Alun-alun utara nan luas itu diisi
oleh banyaknya pedagang dari pakaian, makanan, asesories, alat rumah tangga,
dll. Selain pedagang aneka permainan anak-anak dan dewasa juga ada, salah
satunya Kora-kora yang sangat diminati Nadjwa. Wahana berbentuk kapal layar
yang digerakkan mesin ganset yang berayun kiri kanan dari kecepatan lambat
hingga tinggi. Tak hayal jeritan-jeritan selalu terdengar acap kora-kora
berayun.
Hari ini tinggal hitungan
jari pasar malam sekaten berakhir ditandai dengan peringatan Maulud Nabi
Muhammad SAW pada tanggal 24 Februari nanti.
Gamelan Sekaten sudah dipindahkan ke halaman Masjid Agung
Yogyakarta . Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan
gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah
utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus
siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat
hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Seperti yang tengah saya
dengar sekarang ini, badha luhur sambil menikmati nasi gurih dan iringan suara
gamelan yang mengalun pelan tapi sarat kekuatan. Sahdu dan menentramkan.
Selain menikmati nasi
gurih, hal yang tak boleh luput dilakukan adalah membeli endog abang.
Endog Abang melambangkan
tiga hal. Pertama endog atau telur melambangkan kelahiran dan abang atau merah
bermakna kesejahteraan. Sedangkan helai ruas bambu panjang adalah
hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Sehingga secara kesatuan Endog Abang
dapat dimaknai sebagai simbol kelahiran kembali untuk masa depan yang lebih
baik, lebih sejahtera dengan tetap berpedoman kepada garis yang ditentukan oleh
Allah.
Sekaten yang sarat makna.
Sejarah bahkan mencatat asal
usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat
bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka
Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam
rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan
bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena
orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia
dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain mengatakan
bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat
Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti
"saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul
(Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa
Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara Sekaten dianggap
sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula
penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga,
mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas
agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua
perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan
khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk
memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai
pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di kalangan masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang
Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah
sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya
perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan
sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan,
di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani,
dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil.
Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum upacara Sekaten
dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan
spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten,
yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga
kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya,
serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah
benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu
Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut
dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut
sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya
dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi
pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi
sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten
adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima,
Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem,
Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung
pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih,
Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun
pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.
Untuk persiapan
spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton
Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih
para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri
dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada
tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan
Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo
ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal
Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka
tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman
Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.
Lepas waktu sholat Isya,
para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan
bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi
dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan
Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan
adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah
gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo
dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan
secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo.
Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut
sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil
Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal
Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00
WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan
dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng
Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid
Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid
tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam
hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang
harinya.
Pada tanggal 11 Maulud
(Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk
menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah
riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai
pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten
diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini
merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Mumpung masih beberapa
hari, menjadi pengalaman berharga ketika anak-anak seusia Gallo dan Nadjwa bisa
menikmati warisan leluhurnya, mendengar alunan gending jawa sambil menikmati
sego gurih dan menenteng endog abang dengan bangga.