Wednesday, April 6, 2011

Sejuta Sayangnya


…. Dua buah novel yang barusan kelar aku baca adalah dwilogi Padang Bulannya Andrea Hirata dan trilogi Negeri 5 Menara milik Ahmad Fuadi. Dua tokoh .. dua buku.. dua perjuangan hidup yang fenomenal. Dua laki-laki bujang yang sangat sayang pada keluarga, dengan memory indah yang lengkap tentang ayah-ayah mereka.
Bagiku.. laki-laki yang sangat sayang kepada ayahnya..hormat dan patuh adalah laki-laki yang memikat.

Bagaimana dengan bapakku?
Aku dan bapakku. Bapak dan anak… bak siang dan malam… bak kompor dan api… bak terong di sayur lodeh… hiks.. perumpamaan yang aneh..
Bapakku, laki-laki baik, yang aku yakin sangat menyayangi anak-anaknya. Laki-laki pekerja keras dan pendiam.
Sejak kecil bapak mendidik anak-anaknya tanpa kekerasan, tanpa banyak kalimat yang terucap. Tapi bila sudah mulai pening dengan kelakuan anak-anak gadisnya cukup dengan sebuah pelototan mata maka kami akan beringsut sembunyi dibelakang pinggul ibu.
Bapak selalu pingin anak-anak gadisnya sehat dan berisi, tiap seminggu sekali acara rutin yang harus kami hadiri adalah kunjungan ke warung tenda jalan demangan dengan berbonceng2an naik motor buat duduk manis dibangku-bangku kayu didalam tenda utk digelontori susu sapi murni dan makan roti bakar.
Kami anak-anak gadis yg manis wajib datang , gak boleh absen apalagi diwakilkan, hehehehehe…
Selain wajib minum susu sapi murni, kewajiban kami yang lain adalah makan durian. Harap maklum keluarga kami adalah penggemar berat buah harum berduri tajam tersebut.
Hampir tiap hari, sepulang dari kerja menjelang dini hari bila dapat jadwal shiff malam, bapak pasti pulang bawa buah durian.
Kami yang sudah tertidur lelap bakal dibangunkan ibu dengan membuka buah berdaging lembut dan harum itu, maka menyembullah kepala kami bertiga dari kamar masing-masing. Jadilah kami berlima pesta makan durian dini hari.

Dibalik rasa sayang bapak, terselip pesan ‘pemaksa’ yang kadang bikin kami anak-anaknya dongkol juga.
Aku ingat ketika hamil Gallo dan ngidam makan bubur kacang ijo mang Ujang diperempatan perumahan dekat rumah. Bubur kacang Ijo langgananku sejak sekolah SMP saat pertama kali menginjakan tanah dirumah ibuku setelah sebelumnya tinggal di rumah simbah di dusun.
Entah kenapa siang itu aku sangat ingin makan bubur kacang ijo, “ mungkin ini yang disebut ngidam “ batinku.
Jarak rumah dan rumah ibu cukup jauh hingga aku meminta pembantuku untuk ambil ke rumah ibu. Sebelumnya aku sudah telpon ke rumah ibu untuk minta dibelikan terlebih dahulu.
Tak kurang dari satu jam aku menunggu pembantuku pulang, dia segera bergegas membuka rantang berisi bubur kacang ijo ketan hitam dan mengguyurnya dengan santan kental.
“ sudah siap bu…” ucap pembantuku sambil tersenyum melihatku yang tak sabar menunggu.
Aku segera meraih sendok dan buru-buru menyuapkan bubur manis itu ke mulut.
Tapi…. aku mengernyitkan kening.
Mulutku yang penuh bubur mendadak terkatup rapat. Susah payah kutelan bubur itu dengan desahan jengkel. Aku hafal betul rasa burjo mang Ujang, dan yang barusan masuk mulutku ini bukan bubur keinginanku.
“ kenapa bu… ? nggak enak…? Mau muntah…?? “ pertanyaan pembantuku bak rentetan peluru ditembakan.
“ gak…!” jawabku ketus.
Kulirik pembantuku , wajahnya pucat pias.
“ tadi kamu beli dimana..?” semprotku
“ saya nggak beli bu. Tinggal ambil dirumah ibu sepuh..” jawabnya takut.
Aku segera beranjak ke meja telpon, memutar nomer telpon rumah ibu.
“ bu… ibu beli dimana bubur kacang ijonya..?” tanyaku sekuat tenaga menahan kekecewaan.
“ tuch bapakmu yang beliin .. katanya burjo perempatan itu nggak enak, sama bapakmu dibelikan di jalan kaliurang..” ibu memberi jawaban yang membuatku mulai kesal dengan bapak.
“ ibu dah bilang kalau kamu bisa marah tapi bapakmu maksa.. “ lanjut ibu.
Aku diam, jengkel, sedih, marah, kecewa campur aduk.
“ sudah nggak usah marah, nanti ibu belikan , ibu antar ke rumahmu nanti sore ya..” aku mengiyakan kalimat ibu, tetap dengan sekuat tenaga menahan marah yang sudah melonjak ke ubun-ubun.
Itulah bapakku dengan sifat pemaksanya.

Memaksa manjat pohon mangga

Kini setelah anak-anak makin berumur, cucu-cucu makin banyak, sifat pemaksaan bapak beralih ke cucu-cucu beliau.
Bahkan nekat manjat pohon mangga ketika cucunya sedang kumpul dirumah.. " eyang petikin mangga ya.. harus dimakan ya...biar sehat...!! " tanpa menunggu jawaban, sang kakek sudah nangkring diatas pohon diiringi wajah kebingungan cucu-cucunya.
Aku mulai sering mendengar keluhan Gallo dan Nadjwa, satu saat meluncur kalimat “ eyang panto tu lho.. aku khan nggak mau makan nasi goreng… malah dipaksa… “ aku hanya tersenyum simpul, bibir Gallo manyun sepuluh centi, hehehehe.

- end -