Sunday, August 5, 2012

Amanat dariNya


Weekend yang sungguh emotional , diawali dengan berita lelayu anak tetangga depan rumah. Yuli, anak pak Wargiyo akhirnya meninggal dunia setelah cukup lama menderita sakit jantung. Umurnya masih cukup muda, 24 tahun, anak perempuan satu-satunya. Sungguh sedih menyaksikan keluarga tersebut mendapat cobaan yang cukup berat. Tapi saya sungguh salut dengan ketabahan pak Wargiyo menerima kehilangan sang buah hati, seorang ayah yang berusaha sangat tegar dihadapan keluarga dan saudara-saudaranya. Kata-katanya tak pernah habis hanya untuk menguatkan istrinya agar mampu menerima cobaan. Beberapa kali sang istri pingsan tak kuat menanggung kesedihan.
Sebagai seorang ibu, saya sungguh paham akan kepedihan yang dirasakan bu Wargiyo. Saat anak sakit saja bagaimana bingung dan hancurnya perasaan seorang ibu, apalagi setelah semua perjuangan panjang mengupayakan kesembuhan berakhir dengan kehilangan sang buah hati untuk selama-lamanya.

Pulang dari melayat saya hanya mampu memandang dua buah hati saya yang sedang bercanda sambil main games di depan netbook mereka. Tak ada kata yang mampu saya keluarkan. Saya hanya tertegun menyaksikan keindahan dihadapan saya, keceriaan, kecantikan dan canda tawa mereka. Saya tak kuasa membayangkan bagaimana hancurnya saya kalau kehilangan mereka.
Dalam hati saya memohon agar diberi kesehatan dan umur panjang untuk saya dan anak-anak . Saya berharap agar anak-anak bisa saya besarkan dan tumbuh dengan sehat dan bahagia.

‘mommy kenapa bengong….?’ Nadjwa menyentuh lengan dan membuyarkan lamunan saya.
‘Nadjwa punya sesuatu untuk mommy…..’ lanjut si bungsu sambil menarik lengan saya untuk duduk dipinggir dipan.
‘mommy kok layatnya lama…?’ tanya Gallo kemudian.
‘iya mommy nungguin jenazahnya datang dari rumah sakit trus lanjut dimandiin..’ jawab saya. Gallo memandang saya dengan wajah penuh pertanyaan tapi diurungkannya ketika melihat sang adik menaruh sesuatu ke telapan tangan saya.
‘ini namanya scrapbook, buat mommy. Nadjwa yang buat barusan, kertasnya minta kakak…’ ucap Nadjwa.
Saya tersenyum sambil menerima kertas tebal 2 lembar yang dibuat seperti buku. Ketika saya buka 2 buah puisi ditulis tangan oleh Nadjwa dgn beberapa hiasan gambar disekelilingnya.
Dan saya tak mampu membendung airmata, perasaan sedih dan haru dirumah duka tadi rasanya terurai begitu membaca kalimat-kalimat yang ditulis Nadjwa dan tumpah menjadi linangan airmata.
Nadjwa menulis puisi yang berisi ungkapan terima kasih dan rasa sayangnya buat saya, ibundanya. Saya terindah baginya, juga pahlawan dalam hidupnya.

Mama, waktu aku kecil kau lah yang merawatku
Kau membuatku tersenyum
Mama……
Aku sayang padamu
Engkau adalah seseorang yang ‘sempurna’ bagiku

Mamaku..
Kau mendidikku hingga besar
Dulu saat aku bayi, kau merawatku dengan tulus
Kau mengajariku saat aku tidak bisa
Mama, kau seperti malaikat untukku
Mama….
Kau selalu ada disisiku

Itu adalah kalimat-kalimat yang lahir dari hati anakku… Ya Allah, sungguh saya terharu tak terkira. Terima kasih telah memberi saya amanat yang begitu besar ini, semoga saya bisa membesarkan dengan baik anak-anak yang manis dan berhati lembut ini.
Saya cium pipi Gallo dan Nadjwa. Perasaan yang yang sesak tiba-tiba lega dengan kata-kata yang diungkapkan Nadjwa.
Doa saya kembali terucap dalam hati, semoga kita bisa saling menguatkan dan menjalani hidup ini dalam limpahan rahmat dariNya, anakku.