Wednesday, March 9, 2016

Berteman dgn Gerhana

Walaupun Jogja bukanlah kota yang dilalui gerhana matahari total pd tanggal 9 maret 2016 ini tapi jogja menjadi kota yg warganya antusias ikut menyambut datangnya gerhana yg terjadi setelah 33 tahun silam.

Ada agenda nobar gerhana yg berseliweran di group WA, antara lain di alun alun utara dan Tugu Jogja.

So agar tak mengalami kesalah kaprahan seperti jaman saya kecil dulu .. saja ajak anak anak untuk keluar rumah pagi hari menjelang gerhana tiba. Saya pilih ke Tugu Jogja krn selain bisa ikut euforianya kumpul kumpul sekalian bisa ambil foto dgn latar belakang ikon Jogja tersebut. Kapan lagi bisa berfoto di Tugu yg letaknya dipersimpangan jalan pusat kota jogja kalau tidak ada acara yg kebetulan digelar disana.

Sebenarnya kurang pas memperlihatkan fenomena langka ini ke anak-anak kalau di Jogja.. paling tepat ya ke Palembang... salah satu wilayah dari  11 wilayah lain spt Belitung, Balikpapan, Luwuk, Sampit, Palu, Ternate, Bangka, Palangkaraya, Poso  serta Halmahera, yang dilalui gerhana matahari total.


Tapi setidaknya saya tidak mengurung anak anak utk tinggal di rumah ketika gerhana berlangsung.
Tidak seperti kejadian di tahun 1983... ketika itu saya masih berumur 10 tahun.

Saya masih duduk dibangku sekolah dasar dan tinggal dgn simbah di kampung. Seingat saya ada himbauan untuk tidak melihat gerhana matahari secara langsung karena dapat mengakibatkan kebutaan. Sekolah diliburkan dan saya tidak boleh keluar rumah. Saya diwanti wanti simbah utk tidak usil lari ke halaman saat langit akan gelap. Lebih baik melihat gerhana matahari melalui TV yang akan disiarkan secara langsung melalui TVRI. Kalau masih ngeyel saya akan dimakan buto (raksasa) sebab Batara Kala sang buto yang memakan matahari jika belum kenyang bakal makan anak anak yang ngeyel keluar rumah...hiiiii....betapa seramnya peristiwa gerhana matahari total saat itu.

Untung saya tidak beneran disembunyiin dikolong tempat tidur simbah yg gelap saking takutnya ditelan Batara Kala seperti dia menelan matahari...yaahhh harap makhlum jaman kecil saya cukup unyu unyu dan tengil ..hahahaha.

Saat itu tahun 1983 adalah era informasi satu arah. Pemerintah melalui Deppen dengan gencar men-sosialisasi-kan bagaimana cara menghadapi gerhana matahari total. Anehnya seperti diatas itulah warga negara Indonesia diperintahkan.

Suara dari para ahli astronomi untuk berpikir logis dan realistis dalam menyikapi peristiwa itu tentu saja kalah gaungnya dari suara pemerintah.

Para ahli dan turis dari mancanegara berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menjadi saksi peristiwa tapi rakyat sendiri malah disuruh ngumpet di rumah. Entahlah apa maksud dibalik fenomena gerhana matahari 1983.. namun ada yg menyebut  11 Juni 1983 sebagai “Hari Pembodohan Nasional“.

Padahal waktu itu sebagian besar wilayah Pulau Jawa masuk lintasan gerhana matahari total. Ini adalah gerhana matahari total keempat di Indonesia sepanjang abad ke-20 setelah fenomena pada 1901, 1929, dan 1962.

Tapi Pada 1983, sebagian besar masyarakat justru menyia-nyiakan kesempatan yang amat berharga itu.


Sekarang.. 33 tahun kemudian... Indonesia kembali diberi kesempatan memperbaiki kesalahan... agar anak cucu tidak bodoh seperti orang tuanya dulu.

Melihat liputan ulangan di Palembang sore harinya dari sebuah TV swasta saya ikut merinding, kagum, terpesona dan haru ketika detik detik posisi matahari, bulan dan bumi sejajar. Sinar matahari terhalang rembulan dan pukul 07.20 yang seharusnya terang benderang berubah gelap seperti malam.

Terlihat dari atas Jembatan Ampera ribuan orang menjadi saksi hadirnya fenomena alam yang hanya bakal terulang 350 tahun lagi ini. Dan hanya berlangsung tiga menit. Subuhannalah.

Menurut berita Jembatan ampera dan Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang dipersiapkan pemerintah sebagai lokasi pemantauan bagi tim peneliti, wisatawan dan masyarakat umum, bahkan sejak subuh sudah ramai karena berbagai pertunjukan kesenian tradisional juga ditampilkan.. Bahkan pihak perhotelan membuat tempat khusus dan hidangan bagi para tamunya baik wisatawan lokal maupun domestik di trotoar jembatan.

Seorang Turis Asal Belanda menyebut GMT dari Palembang Sempurna. Sungguh indah.

Allah maha sempurna.