Tuesday, May 6, 2008

" Pukuli saja biar mati... "


“Papah, nanti aku dibelikan CD PS (playsatations) GTA San Andreas ya…” rengek Galo di sela kesibukan Papanya. Papanya mengangguk ringan.

Galo suka sekali main PS, sepulang sekolah hal pertama yang dilakukan adalah duduk di depan tv dan menekan stick PS sambil berteriak-teriak mamainkan games.

Dan sore itu aku terhenyak dengan games yang dimainkannya, “ GTA San Andreas “. Bagaimana tidak ? Seorang laki-laki negro berkeliaran dijalan, mencuri, merampok, memukuli dan membunuh banyak orang entah polisi, anak-anak, orang tua, anggota gank, untuk mendapatkan uang, senjata, mobil dan fasilitas lain. Yang membuatku ngeri adalah animasi di games tersebut memperlihatkan darah yang berceceran bila sang jagoan berhasil dibunuh dengan cara menginjak-injaknya. Ya Allah, ini jelas kesalahan kami orang tuanya yang tidak meneliti jenis games yang dimainkan Gallo.

Ketika saya memintanya untuk tidak memainkan games sesadis itu, jawabannya “ ah.. Mamah, ini khan cuma main-mainan..” jawabnya cengengesan.

Saya mulai berpikir ah.. benarkah ini cuma main-mainan yang hanya ‘sedikit’ berdampak . Bagaimana bila permainan itu membuat anak menjadi agresif, bertindak kasar dan bahkan memunculkan ide untuk memukuli temannya…

Tidak dipungkiri, kreativitas seseorang dalam memanfaatkan teknologi komunikasi untuk kepentingan hiburan maupun komersial memang luar biasa. Mulai dari pengembangan teknologi di bidang pertelevisian sampai pada penciptaan video games, video watch, dll.

Di kota-kota besar Indonesia terutama di pusat-pusat perbelanjaan, sering kita jumpai video arcade (pergelaran video games) yang menawarkan perbagai macam jenis permainan, dan dipenuhi oleh anak- anak dan remaja. Dengan membayar harga yang relatif murah untuk ditukar dengan koin, mereka betah menghabiskan waktu berjam-jam terlibat dalam kesenangan bermain video games.

Di satu sisi, kehadiran video games memang dapat menumbuhkan apresiasi anak maupun remaja pada teknologi. Pada saat yang sama, permainan ini dapat pula merangsang kreativitas maupun daya reaksi (dengan catatan ia tidak memainkan game yang sama berulang-ulang, sehingga mengenal trick permainan).

Namun, di sisi lain permainan ini dapat menimbulkan ketergantungan, manakala penggemarnya terkena video games addict (kecanduan video games). Seseorang dapat menghabiskan waktu dan uangnya sekaligus untuk menikmati permainan ini. Dampak negatif dari permainan ini akan sangat terasa, manakala pemainnya tidak dapat mengendalikan diri. Pada saat seseorang mulai merasa, bahwa permainan ini bukan sekedar untuk dinikmati dalam waktu senggang sebagai aktivitas rekreasional, maka bencana mulai menghadang.


Bahaya tontonan kekerasan pada anak

Seorang teman saya shock dan terkejut melihat anaknya yang berumur delapan tahun melemparkan gelas dan piring. Apalagi tidak ada masalah dalam diri anaknya. Bahkan hal itu dilakukannya sambil tertawa senang. Ketika ditanya, anaknya dengan enteng menjawab, "Kayak Joshua di televisi." Yang dimaksud adalah ulah Joshua dalam sinetron Anak Ajaib.

Kasus tersebut memunculkan kembali silang pendapat, benarkah tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak? Dalam lingkup yang lebih kecil, apakah tayangan kekerasan di televisi (juga game kekerasan) bisa memicu kebrutalan anak di kemudian hari? Masih ingat dengan kasus Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999? Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage.

Sungguh sulit menjawab pertanyaan itu. Melihat jawaban anak teman saya tersebut, jelas tayangan di televisi mempengaruhi perilakunya. "Tapi, itu 'kan hanya meniru?" kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI sambil menambahkan, fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Lain persoalannya jika lemparannya ditujukan ke orang.

Ihwal kasus Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV.

Pendapat Fawzia mendukung pernyataan itu, "Main game itu intens. Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat."

Apalagi analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.

Jadi agresor dan tak pedulian

Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.

Orang tua contoh model anak

Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.

Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.

Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.

Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

Tulisan : Pribadi dan cuplikan beberapa sumber tentang playstation