Wednesday, May 7, 2008

SuperDAD

“ Papah gendong….”.

“ Ayo pah… lari yang kenceng…”

“ Ayo kak… papah di kejar…..”

Celoteh-celoteh riang anak-anakku yang sedang bercanda dengan papanya. Papanya merangkak seperti sapi diduduki Galo dan Nadjwa.

Lain hari aku mendapati ‘ketiga bayiku’ itu hujan-hujannya, tertawa tergelak, berlari-lari mengelilingi rumah ditengah hujan deras.

Lain hari lagi, aku mendapati ketiganya tidur berpeluk-pelukan… begitu damai dan indah dilihat.

Suamiku, papa anak-anakku, sosok yang ideal bagi Galo dan Nadjwa. Anak-anak begitu percaya dan sayang pada papanya. Sebentar saja Papanya tidak terlihat, anak-anak pasti ribut menanyakan, padahal cuma ditinggal sebentar untuk beli rokok atau ke kebun belakang rumah.

Kalau papanya berpamitan hendak pergi keluar rumah, jawaban pertama yang muncul “ aku ikut pah…!”.

Hampir tiap sore seusai sholat magrib, papa dan anak tak pernah absen bercanda, bermain dan tertawa-tawa.

“ ayo mah…, nggak pingin bergabung…?”

Aku hanya tersenyum, lebih senang melihat, mengawasi dan mengomentari tingkah ‘bayi-bayiku’.

Menurut John Rosemond, pengasuh rubrik 'Raising Kids' di MSN, Sejumlah studi menunjukkan , manakala para ayah berfungsi aktif sebagai orang tua anak-anak mereka cenderung lebih percaya diri. Anak-anak ini lebih mudah beradaptasi, bersifat outgoing dan mandiri. Mereka juga punya keahlian sosial yang lebih baik, memiliki lebih sedikit masalah perilaku dan lebih pintar di sekolah.

Saat menginjak remaja, anak-anak yang mendapat kasih sayang seorang ayah secara langsung, cenderung tidak bermasalah mengenai seks, obat-obatan atau alkohol, ketimbang anak-anak yang ayahnya hanya pasif mengawasi dari kejauhan.

Kehadiran ayah dalam kehidupan anak, ternyata punya makna yang besar sekali. Hal ini karena ayah mengambil peran yang berbeda dengan ibu dalam kehidupan anak:

Kasih ibu bersifat tidak bersyarat sedangkan Cinta Ayah lebih bersifat kualitatif dan melekat pada performance anak

Ibu kuatir tentang bagaimana bayinya bisa bertahan hidup sedangkan Ayah berpikir bagaimana anaknya dapat menghadapi masa depan

Ibu men-disiplin anak-anak waktu demi waktu sedangkan Ayah mendisplin anak dengan peraturan

Dari ibu, anak belajar segi emosinya sedangkan dari Ayah, anak belajar untuk hidup ditengah masyarakat

Ibu memberitahukan anak-anak untuk hati-hati ini dan itu didalam bermain sedangkan Ayah justru mendorong anak untuk berani mencoba sesuatu yang baru.

Jadi, dari keberbedaan kualitatif antara apa yang dilakukan ibu dan ayah terhadap anaknya menunjukkan betapa pentingnya kehadiran ayah di tengah-tengah anaknya. Buku “Five Key Habits of Smart Dads” menunjukkan research yang dilakukan terhadap anak-anak yang dibesarkan tanpa adanya peran ayah ditengah kehidupannya cenderung mempunyai beberapa kekurangan psikologis berupa:

Kepercayaan diri sendiri yang rendah

Tidak mempunyai kepedulian sosial yang baik

Sulit untuk menyesuaikan diri untuk keadaan tertentu

Resiko yang lebih tinggi untuk perkembangan masalah physho-sexual.

KEKAYAAN adalah hal yang terpenting dalam hidup kita, maka kita akan menaruh perhatian dan seluruh waktu kita untuk pekerjaan semata-mata. Akan tetapi, ketika kita berpandangan bahwa yang terpenting adalah menjadi ayah dari anak-anak kita, maka kita akan menyediakan waktu dan kesempatan untuk bersama-sama anak kita.

Ketika Richard Nixon berhenti sebagai presiden AS pada 9 Agustus 1974, dia menyampaikan kata perpisahan pada stafnya di Gedung Putih. Dalam kata sambutannya Nixon ingat akan ayahnya. "Ayah adalah orang yang hebat," katanya.

Kesan Nixon menggambarkan betapa sosok ayah sangatlah berarti bagi seorang anak. Apakah sang ayah sukses atau tidak di masyarakat bukanlah soal besar; ayah tetaplah pahlawan bagi anak-anaknya. Buat anak, ayah adalah kombinasi seorang pahlawan, pembimbing, penasihat, pelindung, guru, sekaligus kawan.

Kadang saya ‘sedikit iri’ melihat kelekatan anak-anak dengan papanya.

Saya pernah menguping pembicaraan Gallo dengan papanya ketika dia minta dibelikan ice cream.

“ Pah.. beliin ice cream..”. Rengek Gallo.

“ Bilang Mamamu Lo.. kalau boleh , nanti Papa belikan..”.

“ Nggak mau… Mama galak.., pasti nggak boleh, Gallo khan pilek..”.

Aku tersenyum dari balik pintu kamar, trade mark MAMA GALAK membuat ‘kesenjangan’ antara ibu dan anak, walaupun tidak sepenuhnya salah , sikap ‘GALAK’ pun perlu dimiliki orang tua tentunya dengan maksud bagi kebaikan anak.

Kita sebagai Ibu pasti khawatir kalau anak hujan-hujanan, jangan-jangan nanti flu. Kalau main tanah di halaman rumah khawatir cacingan. Naik turun tangga khawatir jatuh.

Terlalu banyak khawatir hingga berlanjut ke larangan melakukan ‘hal negatif’ sudah jadi trademark kaum Ibu.

Sang ayah yang lebih bijaksana melihat ‘hal negatif’ itu justru sebagai dorongan agar anak mau melakukan hal baru. Tidak salah main tanah, berbecek ria, setelah itu ayah akan memandikan anak-anaknya dengan sangat bersih. Bahkan naik tangga ke atas pohonpun digendongnya, atau ayah akan menemani anak-anak main hujan-hujanan.

Tentulah kenangan-kenangan manis tersebut akan selalu termemori oleh sang anak. Seperti Galo dan Nadjwa yang selalu teringat, “… enak ya sama Papah dibelikan ice cream terus… !!!!”.