Tuesday, May 27, 2008

May, remembered that day.

Kesedihan dan kepedihan masih tetap terasa walaupun gempa besar itu sudah terjadi tepat  2 tahun lalu.
Setiap orang yang mengalami tragedi sabtu pagi itu pasti tak akan pernah bisa melupakan seumur hidupnya.
Bagi kami sekeluarga yang tinggal jauh dari pusat gempa saja ketakutan luar biasa kami alami, apalagi saudara-saudara kami di Bantul sana.
Cuplikan sejarah yang kami alami dibawah ini selalu menjadi pengingat betapa besar kuasaMu ya Allah…. Ampuni kami ya Allah .. cukupkanlah cobaan ini.

Sabtu, 27 Mei 2006 : Pukul 05.50 WIB

Pagi hari pukul 05.50 WIB hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006, Gempa besar 5,8 skala richter mengguncang kota tercinta kami Yogyakarta.

Pagi itu aku terbangun pukul 05.40 WIB, aku sudah merasakan keanehan. Tidak biasanya suasana pagi itu begitu sepi dan senyap. Padahal hari sudah siang dan aku juga kesiangan bangun. Pagi itu sama sekali tidak terdengar suara kokok ayam yang biasanya ribut. Benar-benar senyap.

Aku segera meraih remote tv, sudah beberapa hari aku tidak mengikuti berita perkembangan gunung Merapi yang sedang tinggi aktivitasnya. Beberapa kali malah sudah mengeluarkan wedhus gembel (awan panas), dikhawatirkan gunung tersebut akan meletus.

Belum selesai tangannya mencari-cari channel tv, tiba-tiba pintu sliding kamar yang menuju taman bergetar dengan hebat.. sangat keras..

Aku tergagap, teriakan suaraku keras membangunkan anak-anak yang masih tidur nyenyak…

“ … Gallo.. bangun Gallo.. gempa… lari Galo…” teriakanku membangunkan anak sulungku.

Aku menarik tangan suami, begitu terbangun, tanganku segera meraih tubuh Nadjwa, anakku yang bungsu.

“ Mamah.. ini apa mah..” aku masih mendengar pertanyaan anakku.

“ Gempa.. Gallo.. ayo cepat lari keluar..”.

Aku segera berlari ke arah pintu sliding, kebiasaanku untuk tidak pernah mengunci pintu sliding ternyata membantu. Secepatnya kami berempat berusaha berada di luar kamar.

Kami terus berlari, jarak kamar tidur menuju halaman depan rumah cukup jauh.

Ketika sampai pintu pagar depan aku kaget ketika melihat pembantuku Jono, akan melompat pagar.

“ Jon.. buka pintunya.. cari kunci pagar.. “ teriakku lagi.

Jono melihat kearahku dengan pandangan bingung, dia terlihat baru saja terbangun karena guncangan gempa.

Sedetik kemudian dia sudah bisa membuka pintu pagar, aku bernafas lega … bibirku tak henti menyebut asma Allah… Allahu Akbar… La illa ha illallah..

Tetangga sebelah rumahku juga sudah didepan rumah.

Kami hanya bisa saling memandang, dengan wajah bingung dan takut. Tiba-tiba anak tetanggaku berteriak..

“ Ibu … Merapi meletus… Merapi meletus…” telunjuk tangannya mengarah ke utara.

Ya Allah.. aku melihat gumpalan awan raksasa di atas gunung Merapi. Dari rumah jarak Merapi sekitar 30 m, pagi itu gunung terlihat sangat jelas. Betulkah Merapi meletus… kakiku rasanya makin lemas… Kami akhirnya bergerombol didepan rumah sambil menunggu keadaan kembali aman, selama 30 menit kami masih berada diluar rumah, takut bila masih ada gempa susulan.

Pukul 07.00 WIB

Listrik masih padam. Jaringan telp tidak berfungsi. Aku segera bergegas mandi menyusul anak-anak yang sudah rapi dan wangi. Gallo kuputuskan untuk tidak berangkat ke sekolah.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumahku… “ tsunami … tsunami… air naik… sudah sampai Bantul…”

Kami kembali berhamburan didepan rumah… Jalan raya didekat rumahku penuh sesak dengan kendaraan yang melaju ke arah utara. Orang-orang teriak-teriak, bunyi klakson sahut-sahutan memekakan telinga..

Aku tak beranjak dari tempat berdiri… Mungkinkah air laut Parangtritis akan sampai ke Condong Catur ? Jarak kami dari pantai sekitar 40 km dan kami berada 100 m diatas pantai..

Tiba-tiba jendela rumah tetanggaku bergetar lagi… “ gempa…gempa lagi…” teriak tetanggaku. Aku mendekap kedua anakku erat-erat.

Tiba-tiba dering HP tetanggaku berbunyi, aku ikut menyimak pembicaraan mereka..

“ apa…!!! Bantul parah… rumah roboh semua… ambruk rata tanah… ada isu tsunami ..” tetanggaku mengulang kata yang disampaikan dari seberang telp.

Aku makin mendekap anak-anakku erat… Ya Allah cobaan apa yang akan kami terima…

Tiba-tiba Gallo menarik tanganku.. kutatap wajahnya yang polos…

“ Mah… ini kiamat.. mah.. ini kiamat… umurku baru 7 tahun kok sudah kiamat, padahal aku belum tamat Iqro .. Mah…”.. ucap Gallo keras.

Kuelus kepala Gallo, aku tersenyum trenyuh, tetanggaku juga tersenyum mendengar ucapan Gallo.. namun senyum kami pedih..

Pukul 10.00 WIB

Aku mulai mendapat banyak telepon dan SMS yang menanyakan dan memastikan keadaan kami sekeluarga baik-baik saja.

Televisi mulai menayangkan berita perihal gempa di Yogya dan jumlah korbannya. Daerah Bantul adalah daerah terparah.

Pukul 12.00 WIB

Aku menyempatkan diri ke kantor sebentar memastikan keadaan kantor ( dekat dengan rumah, 10 menit perjalanan dengan mobil ), namun karena beberapa kali kami merasakan gempa susulan, kebetulan ruang kerja ada di lantai 2, akhirnya akupun cepat-cepat kembali ke rumah.

Pukul 22.00 WIB

Sehari ini berita di Televisi dipenuhi tentang gempa di Yogya. Tiap jam ‘headline news’ menjadi acara yang paling ditunggu.

Menurut Metrotvnews.com, Yogyakarta: Hingga Sabtu malam sampai pukul 22.00 WIB, korban meninggal dunia akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah mendekati angka 3.000 atau tepatnya 2.986. Data yang dihimpun Satuan Koordinasi Pelaksanaan (Satkorlak) Penanggulangan Bencana Yogyakarta menunjukkan, korban meninggal terbanyak terjadi di Bantul yaitu sekitar 2.500 orang.

Sementara, di Yogyakarta korban meninggal dunia tercatat 101, disusul Sleman 55, dan Kulonprogo 27 orang. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang bertetangga dengan Yogyakarta, korban meninggal sebanyak 637 jiwa. Di Kabupaten Magelang dan Mojokerto masing-masing satu orang meninggal dunia.

Korban luka berat tercatat 1.017 orang, 872 orang lainnya terluka ringan. Kerugian materi antara lain 2.938 unit rumah rusak berat. Angka korban tewas kemungkinan akan bertambah karena pencarian dan evakuasi jenazah korban akan dilanjutkan hari ini.(AMR)

Semalam aku tak mampu memejamkan mata.. aku takut gempa datang lagi sementara kami tertidur lelap. Akhirnya suami memutuskan untuk jaga bergantian…

Kupandang wajah kedua anakku yang tengah tertidur pulas.

Terima kasih Ya Allah... Engkau masih melindungi kami …terima kasih atas rahmat yang telah kau limpahkan kepada kami. Banyak saudara-saudara kami yang tidak beruntung malam ini.. entah mereka tidur dimana.. beralaskan apa… rumah mereka telah hancur.. kehilangan nyawa saudara dan orang-orang yang sangat mereka cintai…

Airmataku menetes deras…….



Telegram Tuhan di Langit Yogyakarta

Bencana dahsyat yang merengkuh puluhan ribu jiwa itu mengundang banyak simpati dari banyak pihak baik dalam dan luar negeri. Milis Aglonema yang menjadi tempatku bertemu dengan teman-teman penghobi tanamanpun dengan serta merta menggalang dana untuk membantu korban gempa.
Kebetulan aku salah satu orang yang dipercaya untuk menyalurkan bantuan tersebut kepada korban gempa di Bantul dan sekitarnya.

Alhamdullilah amanah tugas penyampaian dana “talikasih” untuk korban gempa Jogja – Klaten telah terlaksana dengan baik, sesuai dengan alamat yang dituju.

Tiga hari muter-muter nyari alamat saudara-saudara milis banyak memberi masukan dan pelajaran bagi saya dan keluarga. Maaf, bukan bermaksud untuk berwisata gempa kalau saya mengajak semua anggota keluarga. Tapi lebih dimaksudkan pada faktor kemudahan dan mempercepat pelaksanaan saja. Tim terdiri dari :
Widodo ( Suami ) sebagai driver dan sekaligus memanfaatkan pengalamannya sebagai “appraiser” on the spot.
Parjono (juru siram tanaman di rumah) karena asli Bantul.
Tharie sebagai Juru serah dan protokol,
Nadjwa dan Gallo sekalian untuk pembelajaran empathy.

Alhamdullilah tugas yang dipercayakan, penyampaian “talikasih” temans millis kepada saudara di Jogja – Klaten telah terlaksana dengan baik. Sembilan belas alamat tujuan yang diamanahkan, semua telah saya datangi dan ketemu langsung dengan saudara-saudara kita. Total talikasih tersalur sebesar Rp 20.777.752 ( Rp 17.277.752 dari Bp Tony Soerono di tambah dana tambahan Rp 3.500.000 dari mas Yunan) telah saya sampaikan. Nilai nominal bantuan untuk masing-masing saudara, didasarkan atas :
Taksiran nilai kerusakan saat on the spot
Taksiran kemampuan “self financing” korban
Taksiran fungsi dan manfaat dana talikasih bagi korban





Besarnya dana talikasih yang tersedia, dengan memakai prinsip manfaat, merata dan adil. Dengan catatan, merata dalam artian dana dapat tersalurakan ke semua alamat yang direkomendasikan. Keadilan tidak harus selalu sesuai dengan hukum adil dalam matematika.

Pada kesempatan ini juga saya mohon maaf pada rekans pemberi amanah, karena saya telah melakukan “mutasi kerja” beliau-beliau. Ceritanya setiap kali di alamat tujuan, sebagai pembuka pasti saya sampaikan bahwa saya adalah teman bapak/ibu X di millis Aglaonema. Dan saya memperoleh amanah untuk menyampaikan talikasih dari Aglaonema Indonesia. Jawaban saudara-saudara di Jogja – Klaten hampir seragam;

“Oo… sekarang bapak/ibu/mas/mbak anu …. Sudah pindah kerja di Aglaonema Indonesia to. Tidak lagi di Indofood, atau di Pertamina, atau di Cibinong, dll”. He he he maaf.

Yang jelas, saudara-saudara di Jogja – Klaten sangat berterimaksih atas bantuan dari AI. Rasa surprise, sesuatu yang benar-benar mengejutkan, menggembirakan campur aduk dengan keharuan terpancar di wajah mereka. Satu hal lain yang saya lihat, timbulnya gairah semangat mereka karena ada yang “ngaruhke” (maaf terjemahan yang pas dalam bahasa Indonesia saya tidak tahu) dari saudaranya. Lantas ……cerita jaman dulu keluar semua ; “Nggak sangka kalau mas/mbak anu dulu nakalnya minta ampun e e e setelah jadi orang tidak lupa pada saudara.” Subhaanallah.

Demikian laporan saya, mudah-mudahan pada kesempatan lain akan saya sampaikan cerita-cerita seputar penyampaian amanah milis.

“ … banyak cerita yang mestinya kau saksikan. Sayang engkau tak turut disampingku ….. kawan..”

Bravo Aglaonema Indonesia - Tharie Widodo