“ Mamah, tadi di sekolah Galo disuruh ikut pelajaran melukis lagi, kata Mr. Aji minggu depan pilihan satu ikut lukis “ Ucap Galo sambil tangannya sibuk mencoret-coret buku gambar.
“ lho bukannya pilihan satu sekarang ikut nyanyi..?” tanyaku.
“ Iya, tapi guruku lukis juga nyuruh ikut kelasnya, aku trus pilih yang mana ?” mulut Galo yang mungil menganga lebar..
Sambil tersenyum, ku elus rambutnya.
Galo termasuk anak yang pintar, cerdas, imajinatif, begitu lapor guru sekolah ketika penerimaan raport semester 1 SD Budi Mulia 2 tempo hari.
Salah satu guru music bahkan meminang Galo untuk ikut kelas menyanyi karena anak tersebut dinilai punya bakat menyanyi. Nilai-nilai raport Galo memang memuaskan, rata-rata hampir 9, bahkan di kelas Matematika predikatnya adalah BINTANG MATEMATIKA.
Setiap hari jum’at pelajaran ekstrakurikuler yang diambil ada dua pilihan, aku mewajibkan dia ikut renang karena postur Galo yang besar dan tinggi 135 cm menunjang kegiatan olah raga Golf-nya. Sementara pilihan yang kedua dia bebas memilih. Awal semester 1 pilihannya jatuh pada pelajaran melukis, banyak lukisan yang indah telah dihasilkannya dan aku rutin mendokumentasikan dan menempatkan lukisan-lukisan tersebut dalam pigura.
Setelah pembagian raport semester 1 pilihannya beralih menyanyi. Selama anakku menyukai dan menikmati kegiatan apapun yang baik aku pasti mendukung.
Sebenarnya cukup padat jadwal kegiatan Gallo, sekolah sejak jam 7.30 sampai jam 14.00 wib. Bahkan sore hari aku masih menambahkan les mengaji 2 kali seminggu, ikut latihan menari di sebuah balai budaya di dekat rumah, dan latihan golf 2 kali seminggu, cukup padat kegiatannya. Otomatis waktu yang luang hanya hari minggu. Terkadang aku merasa terlalu membebani waktu yang dimilikinya dengan banyak kegiatan, tapi selama anak tersebut meminta sendiri dan menikmatinya, aku pasti memberi dukungan.
Satu hal yang tidak aku berikan justru les pelajaran seperti Bahasa Inggris, matematika, sempoa dan lainnya, karena aku pandang hal tersebut belum terlalu urgent.
KALAU begitu, kapan sebenarnya anak bisa dikenalkan pada les-les tambahan di luar kegiatan rutinnya belajar di sekolah?
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Annah Suhaenah mengingatkan, biasanya kita sebagai orangtua ingin anaknya mempelajari segala hal pada usia sedini mungkin. Alasan umum yang dikemukakan adalah anak-anak lebih cepat menyerap pelajaran itu dan kegiatan sekolah anak usia SD dianggap belum padat.
"Saya suka heran kalau ada orangtua yang memaksa anaknya ikut les macam-macam padahal anaknya baru kelas dua-tiga SD, bahkan ada juga yang baru kelas satu SD. Lha, saat-saat itu kan justru anak tengah berjuang untuk mempelajari kecakapan belajar yang dasar," katanya.
Dia mengingatkan pada umumnya tahun-tahun pertama di SD adalah saat di mana anak belajar bagaimana belajar. "Mereka belum tahu bagaimana cara belajar yang paling sesuai dengan dirinya, karena setiap anak itu punya cara sendiri untuk menyesuaikan diri. Itu saat mereka mempelajari kecakapan dasarnya seperti bagaimana membuat catatan yang benar, bagaimana melatih diri untuk memahami guru, belajar menulis dengan baik, sampai belajar mengajukan pertanyaan sendiri ketika dia mencatat," kata Annah menambahkan.
Oleh karena itulah, meski "hasilnya" tak bisa langsung diketahui seperti orang memasak dan langsung jadi makanannya, namun menurut dia, proses bagaimana caranya belajar itu merupakan tahapan yang penting pada anak. Ketika anak sudah bisa menyesuaikan diri dengan cara belajarnya, maka bidang apa pun yang ditekuninya nanti relatif tak menjadi masalah.
Dia mengingatkan, bila pada tahun-tahun awal belajar di SD anak sudah dibebani berbagai les, hal ini juga bisa berarti merampas hak anak-anak untuk belajar dengan rasa senang. "Janganlah orangtua menghilangkan kesempatan anak- anaknya sendiri untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka masih perlu waktu untuk bermain, dan belajar dalam suasana yang menyenangkan hatinya," ujarnya.
Pemaksaan yang dilakukan orangtua bisa jadi justru akan memberikan hasil tak seperti yang diinginkan si orangtua. Walaupun orangtua kerap berdalih itu semua demi masa depan si anak sendiri. Hal yang mungkin terjadi anak malah tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri.
"Si anak terbiasa mengerjakan segala sesuatunya berdasarkan perintah orangtua. Ini akan menghilangkan kesempatan pada anak untuk mengembangkan keinginannya sendiri, dan melakukan hal-hal sesuai kata hatinya," ujar Annah.
Dia juga mengingatkan bahwa pada tiga tahun pertama SD biasanya anak hanya bisa berkonsentrasi penuh dalam waktu sekitar 20 menit. Bila anak dipaksa berkonsentrasi lebih dari jangka waktu tersebut, umumnya mereka merasa gelisah. "Kalau les itu diberikan pada anak dua kali seminggu, umumnya anak masih bisa melakukannya dengan baik," tuturnya.
Sementara Gerda K Wanei, Ketua Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, mengatakan, tempat kursus bisa menjadi lahan keuntungan bagi orangtua. Maksudnya, orangtua bisa mendongkrak kemampuan anak yang semula tidak bisa menjadi bisa.
"Tempat kursus akan sangat positif manfaatnya bila memang anak mempunyai potensi atau jika memang ada kebutuhan pada si anak," kata dia. Anak yang memang punya potensi bermusik akan semakin terasah keterampilannya dengan mengikuti kursus musik. Orangtua yang tak mampu membantu anaknya belajar di rumah akan terbantu dengan adanya tempat kursus pelajaran sekolah.
Sebaliknya hasil negatif akan didapatkan bila si anak mengikuti kursus yang tak sesuai dengan kebutuhan atau bakatnya. Untuk menghindari hal ini Gerda menganjurkan agar orangtua mau menilik lebih dalam apa yang menjadi kebutuhan anak dan mencarikan tempat kursus yang sesuai dengan melihat langsung ke tempatnya, tak sekadar bicara melalui telepon.
Alasannya, "Tidak semua kursus dipegang edukator andal. Sebagian tempat kursus itu memanfaatkan orang-orang yang mampu di bidangnya, tetapi tidak menguasai metode mengajar yang baik. Dia menguasai materi ilmunya saja, tetapi tidak bisa menyampaikan ke murid dengan baik karena tak pernah belajar bagaimana cara mengajar yang benar."
Cocok atau tidaknya anak belajar di tempat kursus yang dipilih sebaiknya menjadi pertimbangan utama. Orangtua punya hak untuk mengetahui bagaimana metode pengajaran dengan mengikuti langsung di kelas saat guru tempat kursus itu memberi pelajaran. Bila tak berkenan, orangtua bisa membatalkan pendaftaran anaknya ke tempat kursus tersebut.
Tempat kursus yang baik biasanya tak keberatan dengan keinginan orangtua untuk tahu bagaimana dan apa yang akan dipelajari anaknya di tempat itu. Pembatalan pendaftaran di tempat kursus seharusnya juga tak membebani orangtua. Artinya, kalau anak cocok belajar di tempat itu, baru orangtua membayar. Bila batal, orangtua tidak harus kehilangan uang dan waktu bagi si anak.
Sudah sewajarnya kita sebagai orangtua bertindak lebih dewasa dan bijaksana, semua kegiatan yang menurut kita baik dan berguna belum tentu baik dan berguna untuk anak kita. Mengenali sifat dan perilaku anak akan sangat membantu kita untuk memilih kegiatan apa yang cocok dan diminati.
( Fathers and mothers have lost the idea that the highest aspiration they might have for their children is for them to be wise... specialized competence and success are all that they can imagine. - Allan Bloom 1930-1992, American Educator, Author )
“ lho bukannya pilihan satu sekarang ikut nyanyi..?” tanyaku.
“ Iya, tapi guruku lukis juga nyuruh ikut kelasnya, aku trus pilih yang mana ?” mulut Galo yang mungil menganga lebar..
Sambil tersenyum, ku elus rambutnya.
Galo termasuk anak yang pintar, cerdas, imajinatif, begitu lapor guru sekolah ketika penerimaan raport semester 1 SD Budi Mulia 2 tempo hari.
Salah satu guru music bahkan meminang Galo untuk ikut kelas menyanyi karena anak tersebut dinilai punya bakat menyanyi. Nilai-nilai raport Galo memang memuaskan, rata-rata hampir 9, bahkan di kelas Matematika predikatnya adalah BINTANG MATEMATIKA.
Setiap hari jum’at pelajaran ekstrakurikuler yang diambil ada dua pilihan, aku mewajibkan dia ikut renang karena postur Galo yang besar dan tinggi 135 cm menunjang kegiatan olah raga Golf-nya. Sementara pilihan yang kedua dia bebas memilih. Awal semester 1 pilihannya jatuh pada pelajaran melukis, banyak lukisan yang indah telah dihasilkannya dan aku rutin mendokumentasikan dan menempatkan lukisan-lukisan tersebut dalam pigura.
Setelah pembagian raport semester 1 pilihannya beralih menyanyi. Selama anakku menyukai dan menikmati kegiatan apapun yang baik aku pasti mendukung.
Sebenarnya cukup padat jadwal kegiatan Gallo, sekolah sejak jam 7.30 sampai jam 14.00 wib. Bahkan sore hari aku masih menambahkan les mengaji 2 kali seminggu, ikut latihan menari di sebuah balai budaya di dekat rumah, dan latihan golf 2 kali seminggu, cukup padat kegiatannya. Otomatis waktu yang luang hanya hari minggu. Terkadang aku merasa terlalu membebani waktu yang dimilikinya dengan banyak kegiatan, tapi selama anak tersebut meminta sendiri dan menikmatinya, aku pasti memberi dukungan.
Satu hal yang tidak aku berikan justru les pelajaran seperti Bahasa Inggris, matematika, sempoa dan lainnya, karena aku pandang hal tersebut belum terlalu urgent.
KALAU begitu, kapan sebenarnya anak bisa dikenalkan pada les-les tambahan di luar kegiatan rutinnya belajar di sekolah?
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Annah Suhaenah mengingatkan, biasanya kita sebagai orangtua ingin anaknya mempelajari segala hal pada usia sedini mungkin. Alasan umum yang dikemukakan adalah anak-anak lebih cepat menyerap pelajaran itu dan kegiatan sekolah anak usia SD dianggap belum padat.
"Saya suka heran kalau ada orangtua yang memaksa anaknya ikut les macam-macam padahal anaknya baru kelas dua-tiga SD, bahkan ada juga yang baru kelas satu SD. Lha, saat-saat itu kan justru anak tengah berjuang untuk mempelajari kecakapan belajar yang dasar," katanya.
Dia mengingatkan pada umumnya tahun-tahun pertama di SD adalah saat di mana anak belajar bagaimana belajar. "Mereka belum tahu bagaimana cara belajar yang paling sesuai dengan dirinya, karena setiap anak itu punya cara sendiri untuk menyesuaikan diri. Itu saat mereka mempelajari kecakapan dasarnya seperti bagaimana membuat catatan yang benar, bagaimana melatih diri untuk memahami guru, belajar menulis dengan baik, sampai belajar mengajukan pertanyaan sendiri ketika dia mencatat," kata Annah menambahkan.
Oleh karena itulah, meski "hasilnya" tak bisa langsung diketahui seperti orang memasak dan langsung jadi makanannya, namun menurut dia, proses bagaimana caranya belajar itu merupakan tahapan yang penting pada anak. Ketika anak sudah bisa menyesuaikan diri dengan cara belajarnya, maka bidang apa pun yang ditekuninya nanti relatif tak menjadi masalah.
Dia mengingatkan, bila pada tahun-tahun awal belajar di SD anak sudah dibebani berbagai les, hal ini juga bisa berarti merampas hak anak-anak untuk belajar dengan rasa senang. "Janganlah orangtua menghilangkan kesempatan anak- anaknya sendiri untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka masih perlu waktu untuk bermain, dan belajar dalam suasana yang menyenangkan hatinya," ujarnya.
Pemaksaan yang dilakukan orangtua bisa jadi justru akan memberikan hasil tak seperti yang diinginkan si orangtua. Walaupun orangtua kerap berdalih itu semua demi masa depan si anak sendiri. Hal yang mungkin terjadi anak malah tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri.
"Si anak terbiasa mengerjakan segala sesuatunya berdasarkan perintah orangtua. Ini akan menghilangkan kesempatan pada anak untuk mengembangkan keinginannya sendiri, dan melakukan hal-hal sesuai kata hatinya," ujar Annah.
Dia juga mengingatkan bahwa pada tiga tahun pertama SD biasanya anak hanya bisa berkonsentrasi penuh dalam waktu sekitar 20 menit. Bila anak dipaksa berkonsentrasi lebih dari jangka waktu tersebut, umumnya mereka merasa gelisah. "Kalau les itu diberikan pada anak dua kali seminggu, umumnya anak masih bisa melakukannya dengan baik," tuturnya.
Sementara Gerda K Wanei, Ketua Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, mengatakan, tempat kursus bisa menjadi lahan keuntungan bagi orangtua. Maksudnya, orangtua bisa mendongkrak kemampuan anak yang semula tidak bisa menjadi bisa.
"Tempat kursus akan sangat positif manfaatnya bila memang anak mempunyai potensi atau jika memang ada kebutuhan pada si anak," kata dia. Anak yang memang punya potensi bermusik akan semakin terasah keterampilannya dengan mengikuti kursus musik. Orangtua yang tak mampu membantu anaknya belajar di rumah akan terbantu dengan adanya tempat kursus pelajaran sekolah.
Sebaliknya hasil negatif akan didapatkan bila si anak mengikuti kursus yang tak sesuai dengan kebutuhan atau bakatnya. Untuk menghindari hal ini Gerda menganjurkan agar orangtua mau menilik lebih dalam apa yang menjadi kebutuhan anak dan mencarikan tempat kursus yang sesuai dengan melihat langsung ke tempatnya, tak sekadar bicara melalui telepon.
Alasannya, "Tidak semua kursus dipegang edukator andal. Sebagian tempat kursus itu memanfaatkan orang-orang yang mampu di bidangnya, tetapi tidak menguasai metode mengajar yang baik. Dia menguasai materi ilmunya saja, tetapi tidak bisa menyampaikan ke murid dengan baik karena tak pernah belajar bagaimana cara mengajar yang benar."
Cocok atau tidaknya anak belajar di tempat kursus yang dipilih sebaiknya menjadi pertimbangan utama. Orangtua punya hak untuk mengetahui bagaimana metode pengajaran dengan mengikuti langsung di kelas saat guru tempat kursus itu memberi pelajaran. Bila tak berkenan, orangtua bisa membatalkan pendaftaran anaknya ke tempat kursus tersebut.
Tempat kursus yang baik biasanya tak keberatan dengan keinginan orangtua untuk tahu bagaimana dan apa yang akan dipelajari anaknya di tempat itu. Pembatalan pendaftaran di tempat kursus seharusnya juga tak membebani orangtua. Artinya, kalau anak cocok belajar di tempat itu, baru orangtua membayar. Bila batal, orangtua tidak harus kehilangan uang dan waktu bagi si anak.
Sudah sewajarnya kita sebagai orangtua bertindak lebih dewasa dan bijaksana, semua kegiatan yang menurut kita baik dan berguna belum tentu baik dan berguna untuk anak kita. Mengenali sifat dan perilaku anak akan sangat membantu kita untuk memilih kegiatan apa yang cocok dan diminati.
( Fathers and mothers have lost the idea that the highest aspiration they might have for their children is for them to be wise... specialized competence and success are all that they can imagine. - Allan Bloom 1930-1992, American Educator, Author )