Wednesday, May 7, 2008

“ My Little Boss….”.

Title : “ My Little Boss….”.
Date : 3 Maret 2006

Pagi ini aku dibuat cukup senewan oleh Nadjwa ( 3th ), bangun pagi tangisnya sudah melengking karena teriak-teriak minta dibuatkan susu. Setelah aku buatkan satu botol susu hangat dan diminumnya, disusul dengan ‘semau guenya’ dia lempar botol susu dari atas tempat tidur.
“ Nadjwa, nggak boleh gitu, ayo ambil botolnya..” ucapku sambil menatapnya lekat-lekat. Namun dengan suara keras dia menjawab “ Nggak mau..”.
Aku terkejut, belum selesai dia teriak lagi, “ Mbak Irah.. sini… ambilin botolku..”. Aku benar-benar dibuat terperangah. Ternyata pembantuku tidak segera datang, dia mulai teriak-teriak lagi dan disusul tangisannya melengking keras.
Ketika pembantu yang baru 3 minggu kerja dirumahku masuk kamar, dia ulangi lagi perintah itu. Aku mulai emosi, kusuruh pembantuku untuk menolak dan mengatakan untuk mengambil sendiri, tak mempan ganti aku yang menyuruhnya mengambil, tetap tak mempan juga. Anakku makin ribut dan teriak-teriak, aku betul-betul dibuatnya shock.. ada apa ini?.
Marahkah dia padaku? Tapi kenapa dan karena apa? Apa yang mempengaruhi dia hingga begitu ‘kalang kabut’ pagi ini.
Aku segera menggendongnya ke kamar mandi dan memandikan. Dengan masih bertanya-tanya seusai mandi aku tanya, “ kenapa adik marah-marah?”. “ Nggak apa-apa .. “ Jawabnya pelan.
Usai sudah acara mandi, berpakaian dan dandan. Akupun melanjutkan aktifitas, belum sepuluh menit berselang keributan mulai datang kembali. Teriakan Nadjwa mulai terdengar, kali ini dia minta ganti baju…!!!. Oalah.. padahal baju yang barusan dikenakannya tetap manis dan cantik melekat di badannya.
Aku kembali menghampiri, “ kenapa ganti..?”.
“ Aku nggak mau yang ini, ini lho keliatan…” jawabnya sambil menarik leher bajunya yang agak rendah.
“ lho.. modelnya memang begitu..”. Belum selesai aku bicara dia sudah menyahut “…. Enggak…, pokoknya ganti…”.
Pembantuku mulai tergopoh-gopoh membuka almari dan mengeluarkan baju-baju Nadjwa, satu demi satu diperlihatkan untuk dapat dipilih, tapi jawaban anakku hanya enggak dan nggak mau..
Akhirnya dengan nada sedikit keras aku mengatakan kalau bingung nyari baju lebih baik punya 2 baju saja dan yang lain dimasukan dos dan ditaruh di gudang. Diluar dugaan jawabannya adalah “ iya… masukin dos saja..”. Nah lo…
Aku benar-benar heran. Kupandang wajahnya yang cemberut, imut dan menggemaskan, tidak ada sedikitpun rasa takut dimatanya, matanya tajam menatapku.
Aku hampir terpingkal-pingkal melihatnya. Bagaimana tidak, sedikitpun dia tidak berkedip, bahkan seakan menantang keputusanku untuk membungkus semua pakaiannya.
Aku tercenung, betapa keras kepalanya anakku yang bungsu ini. Berkali-kali pembantuku dibuatnya hampir menangis karena tak satupun perintah Nadjwa dapat dipenuhi dengan baik hingga membuat anakku uring-uringan dan marah-marah. Dari soal ganti mengganti baju yang sehari-hari bisa 10 kali, mandi bisa 5 kali, perintahnya untuk ditunggui nonton tv tanpa boleh baranjak dari sampingnya bahkan pembantuku diperintahnya untuk menyanyi lagu balonku berulang-ulang tanpa berhenti.
Aku tidak boleh ikutan marah.. . kurengkuh badannya yang mungil dan menggendongnya. Diluar dugaanku, bahwa dia akan menolak karena marah padaku, ternyata dipeluknya badanku dan tangannya yang mungil memegang pipiku, dan cupppp .. muah… bibirnya yang mungil mendarat dipipiku.
Aku tersenyum dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi…” sudahh… sudahh…” ucapnya kegelian.
Gaya ‘bossy’ Nadjwa… !!! sejak kapan hal ini terjadi ?
Aku mulai memuatar otak, tidak biasanya Nadjwa berkelakuan begitu ekstreem. Dari hasil diagnosaku ternyata mengarah ke pembantuku yang baru, Irah. Irah adalah pengganti Imah, ‘baby sitter’ Nadjwa . 3 Minggu yang lalu Imah pamit tidak bisa bekerja lagi karena dipaksa menikah.
Tentu saja aku sedih, Imah sangat baik bekerja, anaknya perhatian, pintar dan sangat sayang kepada kami terlebih Nadjwa yang diasuhnya sejak lahir.
Nadjwa tumbuh menjadi anak yang baik, riang, “penurut”, tapi sejak Imah tidak mengasuhnya sifat “penututnya” musnah berganti dengan tingkahnya yang “bossy” .
Irah memang beda dengan Imah, karakter kedua sangat lain, Imah begitu penyabar, riang, dan yang paling aku sukai dia cerdas dan inisiatif. Mungkin karena background pendidikan dia yang pernah sekolah baby sitter. Irah cenderung ala kadarnya, standart dalam mengasuh anak.
Ke’standaran’ perhatian Irah ke Nadjwa itulah yang balik dimanfaatkan Nadjwa. Aku ingat sore itu, biasanya Imah akan mengajak Nadjwa jalan-jalan keliling komplek perumahan sambil naik sepeda. Karena Irah tidak tahu kebiasaan Nadjwa, sore itu disuruhnya pembantuku itu mendorong-dorong sepeda yang dinaikinya keliling perumahan, kalau tidak mau mendorong dia akan marah, ngamuk dan teriak-teriak.
“ Lho.. kenapa di dorong.. Nadjwa khan sudah bisa naik sepeda, biasanya khan tidak perlu didorong-dorong begitu..”. kataku mengingatkan.
“ Biariiin……. “ Jawabnya ketus.
Duhh…..