Wednesday, May 7, 2008

" Difficult asking.."

Title : " Difficult asking.."
Date : 3 Maret 2006

“ Mah, Allah itu cuma satu, tapi kok ada dimana-mana ? Kata Bu Any (Guru Playgroup) aku nggak boleh takut karena Allah ada dimana-mana, melindungi aku, Allah itu tinggalnya dilangit ya…? Berarti bisa kesana naik pesawat khan Mah ? aku mau lihat Allah ?” berondong pertanyaan Gallo yang saat itu baru berumur 3 th. Lain hari pertanyaannya “ Orang jadi manten itu ngapain to ? cuma duduk-duduk kok bisa melahirkan bayi ? . Pertanyaannya seusai pulang dari acara resepsi pernikahan temanku satu kantor.

Sebagai Orang Tua bagaimana kita menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit dimengeri jawabannya oleh anak-anak kita, karena kita sendiri kesulitan menerangkan dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami anak-anak.

Ada 6 langkah yang bisa kita terapkan.

1. Kesabaran
Kesabaran orang tua boleh dibilang memegang peran terpenting. Tanpa kesabaran, orang tua akan gampang bosan menjawab pertanyaan kritis anaknya. Padahal bukankah kebosanan menjawab identik dengan memadamkan hasrat anak untuk bertanya dan tahu lebih banyak?

2. Kesiapan
Mau tidak mau orang tua memang dituntut untuk harus selalu siap menghadapi reaksi anak mengenai berbagai hal yang sedang dilihat/dibaca/didengarnya. Dengan demikian, orang tua tidak akan merasa terkejut atau terganggu oleh sikap kritis anak karena bisa mengantisipasi sebelumnya.

3. Sepakati Aturan Main
Ketika akan bepergian ke suatu tempat baru atau melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, semisal arisan, bank/kantor, pesta perkawinan, ada baiknya sepakati aturan main. Ini perlu karena bukan tidak mungkin sikap kritisnya akan "mengganggu". Ajak anak bicara tentang situasi yang akan ditemui dan perilaku seperti apa yang diharapkan darinya. Semisal tidak bertanya-tanya terus selagi orang lain bicara. Jika perlu, mintalah padanya untuk sementara waktu "menyimpan" pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, berjanjilah untuk membahasnya begitu sampai di rumah.

4. Jangan Menunjukkan Respons Negatif
Dalam hal ini, kemampuan orang tua untuk mengontrol dirinya sendiri memang diuji. Amat bijaksana bila orang tua tidak menunjukkan respons negatif atas sikap kritis anak, seperti marah atau kesal de-ngan membentak atau malah menyuruh anak diam. Tang- gapilah sikap kritis anak dengan positif. Tersenyumlah dan dengarkan pertanyaannya.

Jika orang tua belum bisa menjawab pertanyaan tersebut saat itu juga, jangan sungkan untuk meminta anak menunggu Anda siap menjawabnya. Jangan lupa juga untuk menjelaskan kenapa pertanyaan tersebut belum bisa dijawab. Contohnya, "Wah... pertanyaanmu bagus banget. Mama senang sekali menjawabnya. Tapi sekarang Mama lagi sibuk masak. Gimana kalau Mama jawabnya nanti saja setelah masakannya matang. Soalnya kalau Mama enggak konsentrasi, nanti masakannya bisa gosong dan rasanya jadi tidak enak. Setuju?"

Bisa juga orang tua menjawab 1-2 pertanyaan anak. Jika ia masih bertanya terus, jelaskan kondisi orang tua yang sedang tidak memungkinkan untuk melayaninya. Tentukan kapan waktu yang dirasa pas untuk melanjutkan "diskusi" tersebut.

5. Dengarkan baik-baik
Sebelum menjawab, dengarkan baik-baik dan pahami benar apa yang ditanyakan anak. Bahkan kalau perlu ajukan pertanyaan balik agar jawaban benar-benar memenuhi kebutuhan anak, selain untuk menghindari salah paham. Soalnya, pengertian/istilah tertentu bisa saja diartikan berbeda oleh anak. Misal, "pacaran" bagi anak adalah jalan bareng sambil berpegangan tangan yang tentu saja berbeda dengan pemahaman orang dewasa.

6. Arahkan pada Penemuan Jawaban
Untuk lebih melatih ketajaman berpikir anak, orang tua sebaiknya membimbing anaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Caranya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penemuan jawaban.

CUKUP JAWABAN SEDERHANA

Adakalanya pertanyaan anak kritis membuat orang tua gelagapan tak tahu harus menjawab apa yang ditanyakan si anak. "Ayah, CD (compact disc) itu terbuat dari apa, sih? Kok, dari benda setipis ini bisa keluar gambar di teve?" Tak banyak orang tua yang memahami hal-hal yang berbau teknologi canggih seperti itu. Menghadapi pertanyaan rumit seperti ini sebaiknya orang tua tetap mencoba menjawab.

"Serumit apa pun pertanyaan anak, belum tentu membutuhkan jawaban yang tak kalah rumit,".

Pemikiran anak yang masih sederhana bisa terpenuhi dengan penjelasan yang menggunakan bahasa sederhana. Sederhana di sini tentu saja bukan jawaban yang asal-asalan. Untuk memudahkan, berilah ia perumpamaan dengan hal-hal yang dekat dengan kesehariannya.

Kalaupun pertanyaannya terlalu sulit dan orang tua tidak bisa menjawab, "Sebaiknya berterus terang saja”. Namun jangan puas untuk berhenti sampai di situ saja. Orang tua haruslah menawarkan alternatif solusi bagaimana jawaban atas pertanyaan itu bisa diperoleh.

Contohnya, "Wah, terus terang Papa belum tahu jawabannya. Bagaimana kalau kita cari sama-sama jawabannya di kamus atau ensiklopedi?" Atau, "Sayang sekali, ya, Mama enggak tahu jawabannya. Tapi nanti di kantor Mama coba tanya-tanya ke teman Mama atau Mama cari di internet, deh. Mudah-mudahan besok Mama sudah dapat jawabannya."

Dengan demikian anak akan belajar memahami bahwa ketidaktahuan merupakan hal yang wajar. Selain itu, ia juga bisa mengerti bahwa seseorang yang tidak tahu dapat menjadi tahu dengan cara bertanya pada orang yang lebih tahu atau mencari jawabannya di buku pintar. Dengan demikian, kendati pertanyaannya tidak langsung terjawab, rasa ingin tahunya tetap berkembang.

Yang harus diusahakan adalah jangan sampai pertanyaan anak tidak terjawab. Pertanyaan yang tidak terjawab akan meninggalkan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau sudah begini ia akan terus mencari pemenuhan atas kebutuhan tersebut. "Nah, daripada ia menemukan pemenuhan tersebut dari sumber-sumber yang tidak jelas dan belum tentu benar, sebaiknya anak memperoleh apa yang ia butuhkan dari orang tuanya."

BILA SIKAP KRITIS DITANGGAPI POSITIF

Bila orang tua selalu mengakomodasi keingintahuan anak, ada beberapa dampak positif yang bakal didapatnya:
Rasa ingin tahunya terus berkembang dan ini akan menguatkan motivasinya untuk terus mempelajari hal-hal baru. Termasuk pelajaran di sekolah, hingga ia terlihat penuh semangat.
Tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri karena merasa diterima oleh orang tua/lingkungan terdekatnya.
Ketajaman berpikirnya semakin terasah.
Memperoleh kesempatan untuk menambah kosakata baru yang didapatnya dari pertanyaan yang diajukan sekaligus memperluas wawasannya.

BILA DITANGGAPI NEGATIF

Tanggapan yang tidak bijaksana terhadap sikap kritis anak hanya akan melahirkan beberapa dampak merugikan.
Mematikan kreativitas dan rasa ingin tahu anak. Dengan begitu, ia tidak lagi terdorong untuk menggali hal-hal baru yang ditemuinya. Semua diterima secara pasif sebagaimana adanya.
Anak jadi kurang percaya diri karena merasa selalu disalahkan dan dianggap sebagai pengganggu.
Anak akan tumbuh jadi orang yang cenderung memilih diam. Baginya diam berarti "aman" dan membuatnya terhindar dari berbagai kesulitan.
Anak jadi frustrasi karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
Anak terdorong untuk mencari sumber lain yang belum tentu benar guna memenuhi kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari orang tua.
Merenggangkan hubungan anak dengan orang tua. Anak enggan terbuka pada orang tua karena menganggap orang tuanya kurang kompeten, minimal enggak asyik diajak "ngobrol".

AGAR ANAK KRITIS

Sikap kritis seseorang tidak berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya. Beberapa hal berikut bisa dilakukan orang tua untuk merangsang sikap kritis anak.
Berikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengemukakan buah pikirannya maupun urun pendapat. Hilangkan budaya dimana "apa kata mama/papa" merupakan sesuatu yang mutlak alias tak bisa ditawar.
Latih anak untuk memecahkan masalah-masalah keseharian sesuai dengan tahapan usianya. Lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsangnya untuk menemukan solusi. Contohnya ketika anak berniat main di luar rumah, tanyakan, "Bagaimana, ya, caranya memindahkan mainan sekaligus dari kamar ke pekarangan?"
Berikan kesempatan seluasnya pada anak untuk menemukan hal-hal baru. Bisa tempat yang belum pernah dikunjungi, buku atau sarana lainnya. Lalu biarkan anak menggali pertanyaan tentang hal-hal baru tersebut.

Ada jenis percakapan yang dapat membantu merangsang sikap kritis anak, yakni:
Membicarakan suatu hal dari sisi baik dan buruknya.
Ajak anak berandai-andai menjadi orang lain.
Libatkan anak membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu kejadian. Contohnya, "Apa ya yang kira-kira terjadi kalau hujan enggak berhenti selama berhari-hari?"

Lebih dalam, oleh Anwar Holid - Kompas, dikupas. PERNAHKAH ANDA mendengar anak berusia enam tahun bertanya seperti ini, "Bagaimana cara kita memastikan bahwa semua yang kita lihat ini bukan mimpi?" Apa bagi Anda pertanyaan itu terlalu mengejutkan karena dilontarkan anak kecil?

Gareth B. Matthews “Kearifan dari Masa Kecil” pernah mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan sulit yang pernah saya dengar dari anak berusia 3-7 tahun adalah seperti ini: "Kenapa ya api tidak ada yang dingin?" Bagi Matthews--pengajar filsafat di Universitas Massachusets, AS--pertanyaan sejenis itu memiliki makna filosofis. Dengan telaten ia merekam dan mengkaji pertanyaan filosofis yang muncul dari penyelidikannya terhadap perkembangan mental dan keingintahuan anak-anak. Matthews tahu orangtua (dewasa) sering kewalahan dan tak sabar terhadap pertanyaan sukar yang muncul dari mulut anak-anak. Tapi, betulkah itu sejenis pertanyaan filosofis?

Banyak orang tidak sepakat bahwa perilaku berfilsafat merupakan kecenderungan alamiah yang muncul sejak lahir. Demikian juga Jean Piaget, pakar terkemuka perkembangan intelektual anak dari Swiss. Menurut Piaget, berdasar dari suatu penelitian intens, ada tiga tahap perkembangan intelektual. Pertama anak-anak percaya bahwa berpikir itu "menggunakan mulut" yang mereka kenali lewat suara. Kedua, ditandai dengan campur tangan orangtua. Ketiga, pada usia 11-12 tahun, ketika pikiran tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang berwujud, melainkan merupakan proses mental, perbincangan batin . Para pakar teori perkembangan mental yang sehaluan dengan Piaget menolak anggapan bahwa anak-anak memiliki bakat berfilsafat, karena menurut mereka jawaban dan komentar yang diberikan anak-anak itu kebanyakan "hanya mengada-ada". Bisa jadi karena ada anggapan anak-anak belum memiliki kesadaran sepenuhnya.

Anggapan inilah yang ingin diruntuhkan Gareth B. Matthews. Dia bermaksud membuktikan bahwa banyak aktivitas yang dilakukan kanak-kanak sebenarnya merupakan perilaku berfilsafat, meskipun, tindakan itu tidak disadari sepenuhnya oleh mereka, melainkan bagian dari bermain-main, memenuhi rasa ingin tahu, menikmati kegembiraan, tahap sosialiasi, pembentukan identitas, mencerap, dan proses memahami.

Menarik bahwa pengalaman dan penelitian yang dilakukannya pada anak-anak menuju kesimpulan sebenarnya manusia telah dibekali kelengkapan (fakultas) filsafat sejak awal masa pertumbuhannya. Menurutnya aktivitas berfilsafat secara alamiah telah dimulai sejak usia sangat dini, ketika hasrat ingin tahu anak-anak tak terbendung. Bagi Matthews pertanyaan, pernyataan, ungkapan, keingintahuan anak-anak itu merupakan benih kepekaan terhadap kebijakan, memupuk daya pikir dan tindakan ke arah yang benar.

Matthews menggunakan pendekatan untuk menelusuri kepekaan terhadap filsafat di masa kanak-kanak, yakni teka-teki, permainan logika, cerita, fantasi, kecemasan, keluguan, dan dialog. Satu bab terpanjang dalam yang ditulisnya buku ini (berjudul "Piaget") secara khusus ditulis untuk mengkritik pendapat Jean Piaget atas perkembangan intelek anak-anak, sekaligus membangun argumen untuk menguatkan pendapat yang diyakininya. Kritik Matthews, Piaget meremehkan konsep berpikir anak kecil. Pada bab itu dia mengemukakan kenapa kepekaan pada filsafat itu terus meluntur pada usia remaja, dan akhirnya membuat orang dewasa susah payah jika ingin kembali mendapatkan ketertarikan dan kemampuan pada subjek tersebut. Penumpulan kepekaan ini berdampak cukup serius pada hubungan orangtua-anak dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua kerap kesulitan menjawab beragam pertanyaan mendasar (fundamental) dari anak-anak yang timbul dari rasa ingin tahu mereka. Ironik, kesulitan itu justru kerap membuat orangtua ingin mengabaikan pertanyaan itu, bahkan cenderung enggan atau melarang anak melontarkan pertanyaan sesuai imajinasi mereka yang bebas. Mereka tidak sabar dan tidak tahu bagaimana menghadapi "serbuan" pertanyaan-filosofis itu. Tanpa disadari proses itu berlangsung terus-menerus, perlahan-lahan, begitu lama, umum terjadi di setiap rumah tangga.

Demikianlah, menurut Matthews, maka berfilsafat merupakan perjalanan mengenang kembali sebuah aktivitas yang pernah dinikmati setiap orang pada masa anak-anak. Dr. I. Bambang Sugiharto--dalam kata pengantar buku ini--menyatakan filsafat memang bisa didekati lewat cara sederhana yang mengasyikkan, sesuatu yang sealamiah game, sandiwara, bermain musik.

Aktivitas dasar filsafat itu membuka kembali pikiran bahwa ada banyak hal yang jawabannya masih belum selesai; pertanyaan itu juga merupakan sesuatu yang terbuka. Tradisi dialog (percakapan) yang melahirkan pertanyaan dan jawaban sebenarnya merupakan bentuk dari budaya berpikir, yang menopang cara berpikir manusia.

Sebagai salah satu cara berpikir, filsafat berusaha memetakan segala masalah jadi lebih jelas, agar segala sesuatu bisa diidentifikasi, agar kemampuan abstraksi seseorang makin tinggi. Dengan itu manusia mampu mencari konteks semua perkara dengan baik, mendalam, lebih bermakna.

Mungkin justru ilustrasi pertanyaan anak-anak yang diberikan Matthews untuk memperlihatkan kecenderungan filsafat tersebut bisa tampak berlebihan, meskipun berasal dari fakta dan penelitian. Pertanyaan "Ke mana rasa sakitku itu pergi?" dari anak 3-4 tahun mungkin masih tampak wajar, namun pertanyaan dari anak berusia 6 tahun, "Dari seluruh diriku ini, manakah aku yang sesungguhnya?", atau anak 9 tahun, "Untuk apa kata-kata diciptakan?" terasa agak terlalu maju.

Matthews memang pandai mencuplik pertanyaan filosofis itu dari banyak sumber, termasuk dari buku cerita anak klasik seperti Winnie the Pooh dan Alice in the Wonderland, anekdot, bahkan dari penelitian yang dilakukan pakar lain. Dia ingin membuktikan bahwa wilayah ketertarikan anak-anak pada filsafat itu bisa tak terbatas dan di luar dugaan orang dewasa.

Meskipun sebenarnya bukan merupakan buku utuh, melainkan berasal dari tulisan Matthews di berbagai jurnal psikologi, filsafat, dan buku antologi perkembangan mental anak-anak, terasa buku ini disusun kembali dengan baik. Pembaca tidak dihadapkan dengan definisi filsafat yang mengejutkan, membuat pikiran terhenyak, melainkan akan sadar bahwa rasa ingin tahu kanak-kanak itu sangat alamiah, harus diperhatikan, dan merupakan tahap awal memupuk pencarian ke arah kebijakan.

Anak-anak akan berfilsafat secara naluriah dan apa adanya. Matthews tentu saja tidak muluk-muluk berharap pada anak-anak; sebaliknya dia pun berharap pada orang dewasa agar tidak mematikan hasrat itu. Bila dimatikan, ditegur, ocehan mereka tidak didengarkan, anak-anak mulai belajar menggerutu, dan itu merupakan gejala pertama yang menghambat keterampilan berbicara, menyebabkan mereka mengeluarkan suara tak jelas. Respons buruk seperti itu yang membuat mereka perlahan-lahan meninggalkan sikap kritis, menumpulkan daya pikir.

Jika disandingkan buku "filsafat" jenis baru yang menggunakan pendekatan sederhana, mudah dipahami, kaya nuansa, seperti Dunia Sophie dan Misteri Soliter (Jostein Gaarder), Socrates Cafe (Christopher Phillips), buku ini boleh dibilang makin memperkaya khazanah wawasan pembaca pada filsafat, sekaligus memahami dunia kanak-kanak dengan makin arif.

Filsafat memang bukan segala-galanya dalam kehidupan manusia, hanya salah satu kelengkapan yang telah disediakan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Seperti kata Matthews di akhir buku ini (hlm. 192), jika (anak-anak) akhirnya meninggalkan ketertarikannya dulu (pada filsafat) demi menyesuaikan diri dengan harapan orang dewasa sekitarnya, ini sungguh sangat menyedihkan. Tapi jika dia melakukannya untuk mencari kesenangan lainnya, itu hal biasa. Ada banyak sisi lain dalam kehidupan ini yang perlu diarungi selain filsafat.

Sumber : Pribadi, Nakita dan Harian Kompas.